Minggu, Oktober 05, 2008

Demam Emas Bombana

HAMPIR sebulan terakhir, Bombana menjadi buah bibir, khususnya di kawasan Timur Indonesia.

Warga dari berbagai daerah, utamanya Sulawesi, Maluku dan Papua, dilaporkan berbondong-bondong menuju Kabupaten Bombana. Itu setelah di Kecamatan Rarowatu, salah satu kecamatan di kabupaten ini, ditemukan daerah persebaran emas.

Laporan: Akbar Hamdan

Menjelang akhir September lalu, penulis mengunjungi Kabupaten Bombana untuk melihat langsung kawasan emas tersebut. Namun belum sampai di Bombana, heboh penemuan tambang emas tersebut sudah terasa. Di pesawat, yang dibicarakan penumpang rata-rata mengenai penemuan emas itu. Begitu pun saat di Bandara Wolter Monginsidi Kendari, menunggu pengambilan bagasi, lagi-lagi pembicaraan tentang emas yang nyaring terdengar.

Keesokan paginya, penulis berangkat dari Kota Kendari menuju Kabupaten Bombana, menggunakan sepeda motor. Selain karena alasan mabuk darat, penulis menggunakan motor atas saran seorang kawan, wartawan salah satu televisi swasta nasional di Kendari. Menurut kawan itu, sejak emas ditemukan di Bombana, tak ada lagi tukang ojek yang beroperasi.

Kata dia, semua tukang ojek lebih memilih mendulang emas. Sementara angkutan umum di Bombana hanya ojek. Dan untuk mencapai lokasi penemuan emas, itu masih ada 40 kilometer jarak yang harus dilalui dari kota Kabupaten Bombana.

Rute Kendari-Bombana lumayan jauh. Jaraknya hampir 170 kilometer. Dengan sepeda motor, perjalanan memakan waktu rata-rata lima jam atau empat jam dengan kendaraan umum. Namun tidak seperti di Sulsel yang bisa melewati beberapa kabupaten dengan jarak sepanjang itu, Kota Kendari dan Kabupaten Bombana ternyata hanya dipisahkan oleh satu kabupaten saja, Kabupaten Konawe Selatan.

Perjalanan dari Kendari ke Bombana lumayan asyik. Itu karena pemandangan alamnya masih asri. Jalannya pun rata-rata lurus dan mulus. Pohon-pohon jambu mete begitu mudah ditemukan di sepanjang pinggir jalan poros. Tanaman padi yang masih berumur dua bulan menebarkan wewangian khasnya.

Namun ada pemandangan lain yang penulis temukan di Konawe Selatan, yang tidak dimiliki daerah-daerah di Sulawesi Selatan. Yaitu pemandangan alam padang rumput savana yang sangat luas dan datar. Jalan poros dari Kendari-Bombana membelah kawasan padang rumput savana dengan panjang jalan sekitar 20 kilometer. Konon, padang savana yang menjadi bagian dari Taman Nasional Rawa Aopa ini dulunya menjadi daerah koloni ratusan ribu rusa sebelum populasinya menyusut drastis akibat perburuan.

Di jalan ini pula, saya mulai menemui iring-iringan pengendara motor. Setiap motor membawa peralatan yang sama, yakni tas pakaian, wajan, sekop, linggis, jeriken, karung yang berisi tanah dan beberapa motor memuat tenda plastik yang di Makassar biasa disebut tenda coto. Tak cuma itu, belasan truk serta mobil pikup juga terlihat memuat barang yang sama.

Dengan barang-barang bawaan itu, mereka jelas bukan sedang mudik. Para pengendara ini kebanyakan datang dari arah Bombana. Saya pun bertanya kepada rombongan pengendara motor yang tengah beristirahat di bawah pepohonan yang terdapat di sela-sela padang rumput savana. Mereka mengaku baru saja meninggalkan kawasan tambang emas Bombana. Dari keterangan mereka, penulis peroleh informasi bahwa Pemerintah Kabupaten Bombana berencana menutup kawasan tambang emas itu.

"Tanggal 27 (September, red), tambang emas itu katanya mau ditutup. Kita disuruh pergi. Tapi kita akan datang lagi nanti selesai lebaran," kata Zainal, salah satu pengendara yang mengaku berasal dari Kabupaten Konawe.

Zaenal dan kawan-kawannya tidaklah pergi dengan tangan kosong. Zaenal sendiri mengaku telah memperoleh sekitar 40 gram emas dari hasil mendulang selama sepekan. Dia kemudian memperlihatkan butiran-butiran emas yang dibungkus dalam kantong plastik transparan yang biasanya digunakan untuk membungkus obat-obatan. Rencananya, Zaenal akan menjual emas itu di salah satu toko emas di Kendari.

"Di sana (lokasi tambang, red) ada yang langsung beli emas kita. Tapi harganya hanya Rp 150.000 per gram. Kalau di kota (Kendari, red), masih bisa laku sampai Rp 200.000 per gram," kata Zaenal.

Beberapa rekan Zaenal juga mengaku telah memperoleh emas dengan jumlah yang bervariasi. Malah salah satu rekan Zaenal berhasil mengumpulkan 78 gram emas. Jika dia berhasil menjual emasnya dengan harga Rp 200.000 per gramnya, itu berarti uang tunai tidak kurang Rp 15.600.000 akan menjadi miliknya.

"Asalkan kita mendulang, pasti dapat emas," kata Firman, warga Konawe yang mendapatkan 78 gram emas tadi.

Emas yang mereka telah peroleh itu belum terhitung dengan tanah yang telah mereka karungkan. Setiap pengendara rata-rata membawa sekarung tanah. Zaenal dan Firman mengaku tanah yang diambil dari lokasi tambang itu mengandung emas. Mereka akan kembali mendulang tanah itu jika telah sampai di rumahnya masing-masing.

Penulis kembali melanjutkan perjalanan. Beberapa kilometer di depan, tepatnya di kawasan yang disebut Gerbang PPA, tampak sekelompok polisi dan Satpol PP tengah sibuk memeriksa kendaraan. Seluruh kendaraan yang menuju atau meninggalkan Kabupaten Bombana ditahan di tempat itu. Tampak pula terpajang sebuah spanduk yang intinya pelarangan memasuki kawasan tambang emas sejak tanggal 22 September.

Para polisi ini tidak sedang melakukan sweeping lalu-lintas. Tetapi sweeping alat dulang. Tak satu pun pengendara yang mereka lewatkan, termasuk penulis. Namun setelah penulis memperlihatkan ID Card Fajar, aparat langsung mempersilakan melanjutkan perjalanan ke Bombana.

Salah satu polisi yang minta namanya tidak dipublikasikan menjelaskan bahwa polisi menahan alat mendulang yang dibawa pengendara yang ingin masuk ke Bombana, utamanya wajan, sekop dan linggis. Menurutnya, unsur Muspida Bombana telah sepakat menutup kegiatan aktivitas tambang untuk sementara waktu. Sedangkan mereka yang meninggalkan Bombana, polisi hanya memeriksa senjata tajam yang kemungkinan dibawa oleh pendulang.

Gerbang PPA ini menandakan Kabupaten Bombana sudah sangat dekat. Sayangnya, kondisi jalan selepas Gerbang PPA ini rusak berat. Di sepanjang jalan menuju Bombana, jumlah pengendara motor semakin banyak ditemui. Beberapa pengendara motor di antaranya adalah satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak kecil. Kebanyakan pengendara jalan dengan berkelompok.

Penulis akhirnya sampai di Kecamatan Rumbia, pusat keramaian Kabupaten Bombana. Di Rumbia, jumlah pengendara motor lebih banyak lagi. Mereka banyak berkumpul di tempat-tempat penjualan bensin eceran.

Karena perjalanan yang cukup melelahkan, penulis tidak langsung menuju Desa Raurau, Kecamatan Rarowatu, tempat di mana emas pertama kali ditemukan. Itu juga atas saran Samir Abdullah, salah seorang tokoh masyarakat setempat yang juga Ketua DPD PKPB Bombana. Namun Samir Abdullah berjanji akan menemani penulis ke lokasi tambang emas tersebut keesokan harinya.

Malam harinya penulis manfaatkan untuk keliling Bombana sekaligus mencari informasi lebih banyak lagi mengenai penemuan emas Bombana. Sekilas, Kabupaten Bombana memiliki tiga dimensi alam, lautan, dataran rendah dan dataran tinggi. Kecamatan Rumbia sendiri berada di daerah pinggiran laut.

Seperti kabupaten-kabupaten yang terletak jauh dari kota, Bombana juga sepi di malam hari. Meski masih dalam suasana Ramadan waktu itu, namun masjid yang penulis lewati kebanyakan lengang. Jumlah jemaahnya kurang satu saf.

Menurut Samir Abdullah, kebanyakan warga berada di lokasi tambang. Mereka terus mencari emas meski hari telah gelap. Bahkan, Samir menyebutkan bahwa keramaian Bombana telah berpindah ke lokasi tambang.

"Di sana kendaraan tidak pernah berhenti lalu-lalang. Orang bangun tenda. Mereka makan dan tidur di sana," kata mantan Camat Lora, Kabupaten Bombana ini.

Dia melanjutkan, di masa awal ditemukannya ladang emas itu, Rumbia yang menjadi kota Kabupaten Bombana bak tak berpenghuni. Ribuan penduduknya berbondong-bondong menuju ke ladang emas itu. Jalanan lengang. Rumah-rumah dikunci. Perkantoran menjadi sepi. Pasar nyaris tak beraktivitas karena sebagian besar pedagang ikut mendulang emas.

Setiap hari, tidak kurang 2000 orang dilaporkan masuk ke Kabupaten Bombana dengan satu tujuan, Desa Raurau. Itu membuat sungai-sungai di Raurau, utamanya Sungai Tahi Ite disesaki para pendulang. Diperkirakan jumlah pendulang mencapai 20.000 orang.
"Kotanya Bombana seperti pindah tempat. Banyak sekali orang di sana," tuturnya

Usai Salat Jumat, saya dan Samir Abdullah meninggalkan Kecamatan Rumbia menuju ke Desa Raurau, Kecamatan Rarowatu, lokasi emas pertama kali ditemukan. Di siang hari, Bombana ternyata sangat panas. Lebih panas dari Kota Makassar.

Laporan: Akbar Hamdan

Karena jarak yang akan ditempuh diperkirakan 40 kilometer, saya pun harus menambah isi bensin sepeda motor saya yang mulai menipis. Namun saya terkejut karena satu-satunya SPBU di Bombana tutup. Bensin eceran memang banyak dijual. Namun harganya lumayan mahal, Rp10.000 per botol. Itu pun isinya kemungkinan tidak genap satu liter.

Di belakang saya, sejumlah pendulang sudah antri mengisi tangki bensin motornya. Tapi mereka tidak mengeluhkan sama sekali mahalnya harga bensin itu.

Dari perbincangan di tempat penjualan bensin eceran itu, saya sempat mendengar beberapa pendulang akan menuju ke Wububangka. Di sana, juga ditemukan emas.

"Tidak lama setelah emas ditemukan di Sungai Tahi Ite, ada juga menemukan emas di Wububangka. Banyak yang ke sana karena tempat pendulangan emas di Tahi Ite sudah dipenuhi pendulang," jelas Samir Abdullah.

Mulanya saya sempat bingung apakah akan ke Desa Raurau atau Wububangka. Pasalnya, jarak ke Wububangka lebih dekat. Tetapi karena pertimbangan wilayah Raurau yang lebih luas, saya pun akhirnya memutuskan ke sana.

Perjalanan ke Desa Raurau memakan waktu lebih satu jam. Untuk jarak 40 km, seharusnya bisa ditempuh selama satu jam. Namun beberapa bagian jalan ke desa ini juga rusak sehingga pengendara harus pelan-pelan.

Iring-iringan kendaraan para pendulang seakan tidak terputus. Ada yang menuju ke Raurau, tapi lebih banyak yang terlihat datang dari sana.

Saya pun tiba di Desa Raurau. Sekilas, desa ini terlihat subur. Di pinggir jalan berdiri pebukitan yang berisi pohon-pohon besar. Pada jalan masuk menuju Sungai Tahi Ite, ternyata sudah dijaga oleh aparat Satpol PP. Di gerbang jalan masuk, juga dipajang spanduk yang berisikan larangan masuk ke wilayah tambang emas. Bentuk spanduknya sama dengan yang dipasang di Gerbang PPA. Hanya saja, di sini tidak ada sweaping alat dulang. Yang ingin masuk, cukup meninggalkan kartu identitasnya kepada petugas. Petugasnya pun cukup ramah.

Mencapai lokasi tambang emas dari jalan masuk tidak cukup sulit. Sebab sebelum lokasi tambang terdapat pemukiman transmigran. Sudah terbentuk jalan untuk kendaraan roda empat meski masih dari tanah dan bebatuan. Pemukiman transmigran terbagi menjadi beberapa Satuan Pemukiman (SP).

Pemandangan alam di SP ini jauh berbeda dengan di sekitar pinggiran jalan tadi. Pebukitannya tandus. Kebanyakan hanya ditumbuhi ilalang. Tapi tak pernah ada yang menyangka, di daerah tandus inilah emas itu bersemayam. Luasnya, ratusan bahkan mungkin ribuan hektar. Sepanjang mata memandang, yang terlihat hanya hamparan pebukitan tandus.

Penemuan emas itu jelas menjadi berkah yang tak terkira bagi para transmigran yang selalu diidentikkan dengan hidup kekurangan. Saat memperoleh lahan masing-masing satu hektar, para transmigran memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Tapi sayangnya, lahan itu kurang subur. Namun kini, terungkap fakta bahwa tidak suburnya tanah itu karena mengandung banyak logam mulia, emas.

Ayah Haris, salah satu transmigran yang bermukim SP 2 boleh dikata tinggal mewujudkan impiannya. Ayah Haris mengatakan telah memperoleh puluhan gram emas saat mendulang di sungai yang terdapat di dekat rumahnya.

"Tapi sekarang saya berhenti mendulang dulu. Soalnya kaki saya dimakan air," katanya.

Menurut Haris, tak mendulang pun, para transmigran pemilik lahan sebenarnya sudah bisa memperoleh emas hanya dengan ongkang-ongkang kaki di rumahnya. Sebab ada perjanjian yang mereka buat dengan para pendulang pendatang, di mana setiap 5 gram emas yang diperoleh oleh pendulang pendatang, 2 gram diserahkan kepada pemilik lahan.

"Tetangga saya rata-rata sudah punya ratusan gram emas. Dan mereka tidak perlu capek-capek mendulang di sungai," kata Haris yang menjadi kepala dusun di SP 2.

Menurut Haris, kebanyakan transmigran menjual emasnya kepada para pembeli emas seharga Rp150.000 per gram. Para pembeli emas ini memang banyak ditemukan di sekitar lokasi tambang. Jumlahnya mencapai ratusan orang. Bahkan kabarnya, banyak pemilik toko emas di Kota Kendari membawa uang miliaran rupiah ke Raurau untuk membeli butiran-butiran emas yang didapatkan oleh pendulang.

"Ada dulu yang sampai bawa uang Rp2 miliar. Uangnya habis, tapi yang mau menjual emasnya masih banyak," kata Haris.

Peredaran uang hingga miliaran rupiah di Raurau tampaknya bukan cerita kosong. Beberapa pendulang yang penulis temui di sungai Raurau mengaku rata-rata bisa memperoleh emas sampai 3 gram per hari. Saya bahkan sempat bertemu dengan seorang bocah berumur sekitar delapan tahun bernama Andi yang mengaku telah memperoleh emas 1,5 gram dalam tiga kai mendulang.

"Saya sudah dapat 5 gram emas," kata Umar Lathief, warga Kolaka Utara yang mengaku baru pertama kali mendulang emas dalam hidupnya.

Di masa awal, diperkirakan ada 20.000 orang mendulang emas. Jika 20.000 pendulang ini rata-rata memperoleh 3 gram emas saja per hari, itu berarti tidak kurang 60 kg emas yang terangkat dari dalam tanah Raurau. Kalau dikalikan lagi dengan harga emas setempat Rp150.000 per gram, itu berarti nilai emas yang diperoleh tiap hari mencapai Rp9.000.000.000. Dan aktivitas penambangan ini diperkirakan sudah berlangsung sebulan lebih.

Boleh dikata, ladang emas ini membuat banyak orang mendadak menjadi jutawan. Yang santer terdengar, sepeda motor di Kabupaten Bombana langsung habis terjual. Bahkan juga di Kota Kendari. Bukan dibeli secara cicil, tapi tunai.

Itu kisah baiknya. Bagian kurang baiknya, tidak sedikit warga yang menderita sakit karena terlalu lama jongkok mendulang. Banyak juga yang terserang penyakit kulit karena terkena air sungai yang sudah tercemar. Sejak didulang, sungai-sungai itu tidak mengalirkan lagi air sebagaimana mestinya. Kubangan bekas mendulang ada di mana-mana. Airnya berwarna cokelat keruh.

Namun bagian terburuk dari kisah penemuan ladang emas ini adanya korban jiwa. Banyak versi mengenai jumlah korban yang tewas. Ada yang bilang 10 orang. Koran-koran lokal melaporkan lima orang. Namun keterangan yang diperoleh penulis dari Wakapolres Bombana AKP Laode Kadiman disebutkan hanya 4 orang.

AKP Laode mengatakan, tiga korban tewas saat membuat rongga di tepian sungai. Sebab sewaktu membuat rongga dalam tanah, mereka tidak menyadari tumpukan material tanah di atas rongga itu akan semakin berat. Dan hukum gaya gravitasi akhirnya membantu tanah itu rubuh dan menewaskan pendulang itu.

Ada juga pendulang tewas karena tertimpa pohon karena pendulang menggali di bagian akar pohon itu. "Satu lagi pendulang tewas karena kecelakaan lalu-lintas di sekitar lokasi tambang," tandas AKP Laode.

Wakapolres AKP Laode Kadimu membantah isu yang menyebutkan adanya pendulang yang tewas karena dibunuh. "Tak ada yang mati terbunuh. Rata-rata karena kecelakaan kerja saja," katanya.

Laporan: Akbar Hamdan

Terlepas benar tidaknya isu terjadinya pembunuhan di lokasi tambang emas ini, konflik antarsesama pendulang memang sangat mungkin terjadi. Pemicunya pun bisa sangat beragam. Bisa karena faktor kecemburuan atau pun karena isu kesukuan. Pasalnya, masyarakat pendulang sangat heterogen.

Data pemerintah setempat menyebutkan pendulang datang dari berbagai daerah. Bahkan ada yang datang jauh-jauh dari Timika, Riau dan Pulau Jawa. Yang jadi masalah, para pendulang pendatang rata-rata sudah memiliki pengalaman mendulang, utamanya yang dari Timika dan Jawa. Sementara warga lokal rata-rata masih amatir. Tampaknya, potensi konflik ini merisaukan Pemkab Bombana hingga akhirnya menutup ladang emas itu untuk sementara waktu.

Bukan itu saja, sejak ladang emas ini ditemukan, banyak timbul masalah sosial yang sangat serius. Nelayan tak mau lagi melaut. Para petani tidak menghiraukan lagi sawahnya yang saat itu seharusnya dipanen. Pedagang sembako enggan lagi menjual di pasar. PNS, terlebih lagi pegawai honor, tidak konsentrasi kerja. Semuanya berbondong-bondong ke ladang emas karena memang hasilnya sangat menggiurkan.

Harga di pasaran melonjak tajam. Apalagi alat mendulang, utamanya wajan. Harganya naik sampai 300 persen. Penulis juga sempat ke pasar untuk membeli ayam. Harganya sungguh terlalu, Rp200.000 per ekor. Itu pun ukurannya tidak terlalu besar.

Maka pada Sabtu 27 September lalu, pemerintah akhirnya menutup kawasan tambang emas. Tidak kurang 800 aparat gabungan dikerahkan untuk mensterilisasikan kawasan tambang dari para pendulang. Tidak itu saja, polisi dibantu Satpol PP dan TNI harus bersiaga 24 jam di pintu-pintu masuk Kabupaten Bombana untuk mengantisipasi arus masuk 'pendatang' yang ingin mendulang.

Kata Wakapolres Bombana AKP Laode Kadimu, selain dari Gerbang PPA, Bombana juga bisa diakses melalui Tauduri, Kabupaten Kolaka. Namun titik yang paling ketat penjagaannya dilakukan di kawasan tambang, Desa Raurau, Kecamatan Rarowatu. AKP Laode mengatakan polisi juga mempertimbangkan untuk menambah jumlah personilnya. Sebab anggota polisi Bombana hanya sekitar 300an orang.

Bupati Bombana DR H Atikurahman mengatakan kawasan tambang hanya ditutup selama sebulan. Dan dalam waktu satu bulan ini, pemerintah akan berkonsentrasi membuat perangkat-perangkat aturan pertambangan yang diperlukan.

"Penemuan emas adalah berkah bagi daerah dan rakyat kami. Namun undang-undang tetap mengamanahkan bahwa kekayaan alam merupakan milik pemerintah dan dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Untuk itu, kita perlu menertibkan aktivitas penambangan supaya tidak muncul masalah yang kita tidak inginkan," jelasnya.

Dia melanjutkan, sudah banyak investor, baik dari luar negeri maupun dalam negeri yang tertarik dengan ladang emas Bombana. Tetapi menurutnya, pihaknya tetap memprioritaskan warga Bombana untuk mengelola tambang emas tersebut. Warga dari luar Bombana juga tetap bisa ikut menikmati emas Bombana, tetapi ada aturannya.

Jika nantinya tambang sudah dibuka untuk masyarakat umum, pendulang harus memiliki kartu ijin menambang. Bagi warga lokal, kartu ijin menambang bisa didapatkan dengan melampirkan KTP-nya. Namun syarat 'agak berat' diberlakukan bagi warga luar Bombana. Sebelum memperoleh kartu ijin menambang itu, mereka harus mengurus dulu rekomendasi dari kepala daerahnya (Bupati/Walikota), gubernur setempat, Gubernur Sulawesi Tenggara, Bupati Bombana dan surat keterangan berdomisili sementara.

Selain itu, pendatang juga diwajibkan memiliki keterangan tidak pernah terlibat kasus kriminal serta membayar biaya retribusi Rp100.000 untuk ijin menambang selama enam bulan dan retribusi dari beberapa persen dari hasil mendulangnya. Dan kemungkinan, masih ada lagi syarat yang akan dibuat oleh pemerintah setempat untuk pendulang pendatang.

Bupati Atikurahman juga mengaku penemuan tambang emas ini sudah dilaporkan kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. SBY pun sempat titip pesan. Kata Bupati Atikurahman, SBY berpesan agar tambang itu harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah setempat juga sudah merancang persiapan tambang rakyat di sepanjang 20 km pada aliran-aliran sungai yang mengandung emas. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bombana Ir Kahar MS menjelaskan pemerintah akan membuat 10 zona tambang rakyat dengan panjang 2 km setiap zonanya. Satu zona bisa menampung hingga 400 kelompok penambang di mana setiap kelompok akan terdiri dari 20 sampai 30 orang pendulang.

"Sepuluh persen hasil tambang mereka akan menjadi milik pemerintah. Baik berupa uang maupun emas," tambah Kahar.

Dari survey sementara yang dilakukan Distamben Bombana, potensi emas tersebar pada sedikitnya 5000 hektare, khusus di Kecamatan Rarowatu dan Kecamatan Rarowatu Utara. Emas ini terdapat di pebukitan, aliran-aliran sungai serta pemukiman transmigran, utamanya SP (satuan pemukiman) 7, SP 8, SP 9 dan SP 10.

Jumlah deposit emasnya pun cukup mencengangkan, sekitar 158.000 ton.
Andai jumlah emas ini dikalikan dengan harga jual emas Rp200.000 per gram saat ini, maka hasilnya lebih mencengangkan lagi, yakni Rp31.600.000.000.000.000. Singkatnya Rp31.600 triliun.

Kandungan emas paling banyak terdapat pada aliran-aliran sungai, khususnya Sungai Tahi Ite dan Sungai Wububangka, dengan jumlah rata-rata 258 ppm (part per million), atau dalam bahasa awam 258 gram emas murni pada tiap 1 ton tanah. Sedangkan di pebukitan hanya mengandung 10 hingga 40 ppm emas.

"Dari segi kualitas, emas Bombana masih lebih baik dari yang freeport kelola. Kalau tidak salah, emas di sana hanya 10 ppm," kata Ir Kahar.

Emas di aliran sungai terdapat hingga kedalaman 1 sampai 30 meter. Sedangkan di bukit, emas baru bisa diperoleh pada kedalaman 150 meter. Karena itu, pebukitan akan menjadi 'jatah' para investor karena memiliki alat penggalian.

Menurut Kahar, kandungan emas di Raurau ini sebenarnya sudah diketahui oleh pemerintah sejak Mei lalu atau dua bulan sebelum meledaknya aktivitas pertambangan rakyat. Namun menurut cerita yang berkembang di tengah masyarakat, emas ini ditemukan oleh warga Raurau sendiri. Tetapi banyak versi tentang awal penemuan ladang emas ini.

Versi pertama ini paling banyak diyakini warga Bombana. Alkisah, emas pertama kali ditemukan oleh warga yang bernama Budi. Namun kisah ini diselimuti nuansa mistis. Pasalnya, Budi disebutkan mendapat wangsit dalam mimpi, disuruh mencari emas di desanya yang punya banyak pebukitan tandus itu. Masyarakat setempat pun sempat menganggap Budi tidak waras karena aktivitasnya menggali-gali tanah. Namun seminggu setelah mencari, Budi akhirnya mendapatkan emasnya. Kabar penemuan emas itu pun tersebar seketika.

Versi lainnya. Emas ditemukan oleh seseorang pengangguran bernama Hamzah. Hamzah yang dulunya sempat mendulang di Martapura menemui kesamaan topografi alam Martapura dengan Raurau. Hamzah pun lalu coba-coba mendulang dan akhirnya berhasil memperoleh emas.

Dari hasil mendulangnya secara diam-diam, Hamzah memperoleh emas hingga ratusan gram. Kehidupan Hamzah pun berubah drastis. Perabotnya mewah-mewah. Bahkan sudah membeli mobil. Warga akhirnya curiga Hamzah mendapatkan kekayaannya karena menggunakan ilmu hitam. Karena tak tahan dengan gunjingan warga, Hamzah pun membeberkan penemuan emasnya.

Kisah lainnya, emas ditemukan oleh seorang petani saat akan mencari rotan dalam hutan. Saat menyeberangi Sungai Tahi Ite, petani itu melihat kilauan memancar dari dalam air. Petani itu lalu mencari benda berkilau itu dan ternyata, benda berkilau itu adalah emas. Berita itu pun tersebar.

Usai lebaran, saya meninggalkan Bombana menuju Kendari. Di sepanjang jalan, saya masih melihat banyak pendulang pendatang yang berusaha masuk Bombana. Tetapi usaha mereka tampaknya akan sia-sia. Sebab aparat gabungan masih melakukan penjagaan di Gerbang PPA. sumber : http://www.fajar.co.id

0 comments: